Angklung mulai di kenal oleh masyarakat luas keita pada zaman kerajaan Sunda. Dulunya berfungsi sebagai penggugah semangat pada waktu peperangan. Hal ini terus berlanjut hingga jaman penjajahan yang di alami bangsa indonesia ini.
Alunan musik di dalamnya sebagian besar terinspirasi dari Nyai Sri Pohaci ( dewi padi ) atau sering disebut Dewi Pemberi Kehidupan. Karena mitos yang berkembang pada masyarakat dulu kemudian para seniman menciptakan semacam syair dan lagu sebagai penghormatan kepada Nyai Sri Pohaci lewat kesenian angklung ini.
Pada saat kemunculan, sebenarnya Angklung dianggap sebagai alat musik yang sakral karena kehadirannya untuk mengiringi Mantera - mantera yang di alunkan saat ritual tertentu. Hal ini berubah sejak tahun 1938, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang di dasari oleh suara Diatonik. Sejak saat itu Angklung menjadi lebih dekat kepada bidang seni daripada bidang mistis dan klenik.
Lambat laun Angklung pun dikenal ke seluruh penjuru dunia. Pengakuan tentang keberadaan alat musik Angklung pertama kali diakui oleh seorang musikus besar asal australia yaitu Igor Hmel Nitsky pada tahun1955. Angklung pun semakin berkembang hingga saat ini. Tercatat sebuah rekor dunia bermain angklung pernah diciptakan di Beijing, China melalui acara yang diselenggarakan oleh KBRI dengan melibatkan 5.393 peserta di Stadion Buruh Beijing.